The Magician's Nephew - Part 1 (BAB 1 - 3)


KEPONAKAN PENYIHIR

Novel by C.S. Lewis
Ilustrasi oleh Paul Baynes
Narnia of Indonesia

-----

DAFTAR  ISI
1.    Pintu   yang  Salah
2.    Digory  dan  Pamannya                                               
3.    Hutan  di  Antara  Dunia-Dunia                                  
4.    Bel  dan  Palu                                                               
5.    Kata  Kemalangan                                                        
6.   Awal  Segala  Kesusahan Paman  Andrew                                                          
7.    Yang  Terjadi  di  Pintu  Depan                                  
8.   Pertarungan  di  Lampu   Tiang                                  
9.   Membangkitkan   Narnia                                             
10.     Lelucon  Pertama   dan   Hal-hal  Lain                      
11.     Digory   dan   Pamannya Sama-sama  dalam  Kesulitan                                    
12.     Petualangan  Strawberry                                            
13.     Pertemuan   Tak   Terduga                                         
14.    Penanaman  Pohon                                                     
15.    Akhir   Kisah   Ini dan  Awal   Kisah-kisah   Lain                                    

-----

Untuk Keluarga Kilmer
-----

BAB 1
Pintu yang salah

   Ini  kisah   tentang   sesuatu   yang   terjadi   dulu sekali   ketika   kakek-nenekmu   masih   kanak-kanak.   Kisah  ini  penting  karena  mengungkap-kan  bagaimana  pertama  kali  dimulainya  berba-gai  hal  bisa  keluar-masuk  dari  dunia  kita  sendiri ke  tanah  Narnia.

Di masa-masa itu, Mr Sherlock Holmes ma-sih tinggal di Baker Street dan keluarga Bastable masih mencari harta terpendam di Lewinsham Road. Di masa-masa itu, kalau kau anak laki-laki kau harus mengenakan kerah Eton yang kaku setiap hari, dan sekolah-sekolah biasanya lebih kejam daripada sekarang. Tapi makanan-makanannya lebih lezat, dan kalau bicara soal permen-permennya, aku tidak akan bilang pada-mu betapa murah dan nikmat semua jenisnya, karena itu hanya akan membuat air liurmu

menetes percuma. Dan di masa-masa itu, hidup-lah di London anak perempuan bernama Polly Plummer.

Dia tinggal di salah satu rumah di deretan panjang rumah yang berdempetan. Di suatu pagi, dia sedang berada di kebun belakang

ketika
seorang   anak   laki-laki
datang
berlari
dari   kebun   sebelah   dan  meletakkan  kepalanya

di atas pagar tembok. Polly sangatlah terkejut karena hingga saat ini belum pernah ada anak-anak di rumah itu, hanya Mr Ketterly dan Miss Ketterley, kakak-beradik, perjaka tua dan perawan tua, tinggal bersama. Jadi Polly men-dongak, penuh rasa ingin tahu. Wajah anak laki-laki asing itu sangat kotor. Nyaris tidak akan bisa lebih kotor lagi bila dia menggosok-kan tangan ke tanah dulu, menangis keras, lalu mengeringkan wajah dengan kedua tangan-nya. Bahkan sebenarnya, bisa dibilang itulah yang baru saja dia lakukan.

"Halo,"  sapa  Polly.

"Halo," sapa anak laki-laki itu. "Siapa nama-mu?"

"Polly," jawab Polly. "Kalau namamu?" "Digory," jawab si anak laki-laki. "Wah, namamu aneh sekali!" kata Polly.

"Lebih aneh mana dengan Polly?"  kata Digory.


 "Namamu lebih aneh," kata Polly. "Tidak," kata Digory.

"Yang pasti aku akan mencuci wajahku," kata Polly. "Itu perlu kaulakukan, terutama setelah—" lalu dia berhenti. Dia berniat berkata

"Setelah
kau
menangis
lama,"
tapi
dia
pikir
itu
tidak
sopan.






"Baiklah,
aku
akan
mencuci
muka,"
kata
Digory dengan suara yang jauh lebih keras, seperti anak lelaki yang saking sedihnya tidak peduli siapa saja yang tahu dia habis menangis. "Tapi kau juga akan begini," dia melanjutkan, "kalau sepanjang umurmu kau hidup di pe-desaan dan memiliki kuda poni, juga sungai di bagian bawah taman, lalu dibawa untuk hidup di gua kumuh mengerikan seperti ini."

"London bukan gua," kata Polly yakin. Tapi anak lelaki itu terlalu marah untuk mendengar-nya, dia pun melanjutkan—

"Dan kalau ayahmu berada jauh di India— dan kau harus tinggal bersama Bibi dan Paman yang gila (siapa yang bakal mau?)—dan kalau alasannya adalah karena mereka harus menjaga ibumu—dan jika ibumu sakit dan akan— akan—meninggal." Kemudian wajahnya mulai membentuk rupa aneh yang biasa muncul bila kau berusaha menahan air mata.

"Aku tidak tahu itu. Maaf ya," kata Polly lembut. Kemudian, karena dia hampir tidak tahu apa yang harus diucapkan dan berusaha mengalihkan pikiran Diggory ke topik-topik menggembirakan, dia bertanya:

"Memangnya Mr Ketterly benar-benar gila, ya?"

"Yah,  kalau  tidak  gila,"  kata  Digory,  "pastinya dia menyimpan misteri lain. Dia punya ruang kerja di lantai atas dan Bibi Letty bilang jangan sekali-kali aku berani ke sana. Nah, itu saja sudah terdengar mencurigakan, kan? Kemu-dian ada satu hal lagi. Setiap kali pamanku berusaha mengatakan apa pun padaku saat makan—dia bahkan tidak pernah berusaha bi-cara pada Bibi—Bibi Letty langsung menyuruh-nya diam. Dia bilang, 'Tidak perlu mencemas-kan anak itu, Andrew' atau 'Aku yakin Digory tidak mau mendengar tentang itu' atau kalau tidak 'Nah, Digory, tidakkah kau ingin main keluar di taman?"'

"Biasanya pamanmu berusaha bicara tentang apa?"

"Aku tidak tahu. Dia tidak pernah bisa bicara banyak. Tapi ada lagi yang lebih mem-buat penasaran. Suatu malam—bahkan sebenar-nya, kemarin malam—waktu aku melewati tangga terbawah menuju loteng, saat mau pergi tidur (dan biasanya aku tidak pernah terlalu peduli saat melewatinya), aku yakin aku men-dengar teriakan."

"Mungkin dia menyekap istrinya yang gila di atas sana."

"Ya, aku sudah memikirkan kemungkinan itu."
"Atau mungkin dia sebenarnya pembuat uang palsu."

"Atau dia mungkin dulunya bajak laut, seper-ti pria yang ada di bagian awal buku Treasure Island, yang selalu bersembunyi dari teman-teman sekapalnya."

"Seru sekali!" kata Polly. "Aku tidak pernah menyangka rumahmu begitu menarik."

"Kau mungkin berpendapat rumah itu mena-rik," kata Digory. "Tapi kau tidak bakal me-nyukainya kalau harus tidur di sana. Apakah kau masih akan menyukainya kalau harus se-lalu terbaring dalam keadaan terjaga men-dengarkan langkah kaki Paman Andrew yang mengendap-endap sepanjang koridor menuju rumahmu? Matanya juga mengerikan sekali."

Begitulah ceritanya bagaimana Polly dan Digory bisa saling mengenal. Dan karena saat itu masih permulaan liburan musim panas dan tidak satu pun dari mereka yang pergi ke laut tahun itu, mereka bertemu nyaris setiap hari.
Sebagian besar alasan dimulainya petualangan mereka adalah karena saat itu musim panas yang paling sering hujan dan dingin yang per-nah ada sejak bertahun-tahun. Keadaan ini membuat mereka harus berpuas diri dengan kegiatan-kegiatan di dalam rumah, bisa dibilang, petualangan di dalam rumah. Menakjub-kan sekali betapa banyaknya petualangan yang

bisa
kaulakukan
dengan
sebongkah
lilin
di
suatu
rumah
besar,
atau
di
deretan
rumah.

Polly telah lama menemukan bahwa jika kau membuka pintu kecil tertentu di loteng yang berbentuk kotak di rumahnya, kita akan me-nemukan tempat penyimpanan air dan ruang gelap di belakangnya yang bisa kaumasuki dengan sedikit memanjat hati-hati. Ruang gelap itu seperti terowongan panjang dengan dinding bata di satu sisi dan atap curam di sisi lainnya. Di atap, berkas-berkas kecil cahaya menembus di antara rongga-rongganya. Tidak ada lantai di terowongan ini, kita bakal harus melangkah dari kasau ke kasau, dan di antaranya hanya ada plester. Kalau kita menginjak plester ini kau akan mendapati dirimu terjatuh dari langit-langit ruangan di bawahnya. Polly mengguna-kan sebagian kecil terowongan itu, tepat di sebelah tempat penyimpanan air, sebagai gua penyelundup. Dia membawa bagian-bagian peti pakaian tua, beberapa bantalan kursi dapur yang rusak, dan benda-benda sejenis lainnya, lalu menyebar semua benda itu di atas kasau demi kasau sehingga terbentuk semacam lantai. Di sinilah dia menyimpan kotak uang yang

berisi berbagai harta, dan cerita yang sedang ditulisnya, lalu biasanya beberapa apel. Dia sering kali diam-diam meminum bir jahe di sana, botol-botol lamanya membuat tempat itu lebih kelihatan seperti gua penyelundup.
Digory     lumayan    menyukai    gua    itu     (Polly tidak    mengizinkannya   melihat   cerita    yang   ditulisnya)    tapi    anak   lelaki   itu    lebih   suka   bertualang."Polly,"    kata    Digory.    "Sepanjang   apa   terowongan     ini    sebenarnya?    Maksudku,     apakah terowongan   ini   berakhir   di   ujung   rumahmu?" "Tidak,"   kata   Polly.   "Dinding-dindingnya   tidak   berakhir   hingga   atap   rumah   ini   saja.   Tapi

terus memanjang. Aku tidak tahu hingga sejauh apa."

"Kalau begitu kita bisa menjelajah sejauh panjangnya deretan rumah ini."

"Sepertinya begitu," kata Polly. "Dan oh, astaga!"

"Apa?"

"Kita bisa masuk ke rumah-rumah lain." "Ya, dan dianggap perampok! Tidak, terima
kasih."

"Jangan sok tahu, dengar dulu. Yang ku-maksud itu rumah di sebelah rumahmu."

"Ada  apa  di  rumah  itu?"

"Rumah itu kosong. Daddy bilang rumah itu selalu kosong sejak kami pindah kemari."

"Berarti kurasa kita harus mencoba melihat-nya," kata Digory. Kalau kau mendengarnya berbicara, kau tidak akan menduga sebenarnya dia jauh lebih bersemangat daripada itu. Karena tentu saja dia sedang memikirkan, seperti yang juga akan kaulakukan, semua alasan kenapa rumah itu kosong begitu lama. Begitu juga Polly. Tidak satu pun di antara mereka yang mengucapkan kata "berhantu". Dan keduanya merasa bahwa sekali suatu ide tercetus, akan jadi tindakan pengecut bila tidak melakukan-nya.

"Jadi kita coba pergi ke sana sekarang?" tanya Digory.
"Baiklah,"  jawab  Polly.

"Tidak usah kalau kau tidak ingin," kata Digory.

"Aku mau kalau kau juga mau," kata Polly. "Bagaimana caranya kita bisa tahu kita su-
dah ada tepat di rumah sebelah rumahku?" Mereka memutuskan harus keluar dari ruang

kotak dan berjalan menyeberanginya dengan berjalan sebanyak langkah yang dibutuhkan untuk berpindah dari satu kasau ke kasau lain. Tindakan ini akan bisa memberikan me-reka perkiraan ada berapa kasau yang harus dilewati untuk melewati satu ruangan. Kemu-dian mereka akan melebihkan kira-kira empat kasau untuk memperkirakan lorong di antara dua loteng di rumah Polly, kemudian jumlah yang sama dengan ruang kotak untuk kamar tidur pelayan perempuan. Perhitungan ini akan membantu mereka mengira-ngira panjang ru-mah. Kalau mereka sudah melalui jarak itu

sejauh
dua
kalinya,
mereka
akan
berada
di
ujung
rumah
Digory.
Pintu
mana
pun
yang
mereka temui setelah itu akan membawa me-reka ke loteng rumah kosong tersebut.

"Tapi kurasa loteng itu tidak akan benar-benar kosong," kata Digory.
"Memangnya menurutmu bakal ada apa di sana?"

"Menurutku bakal ada seseorang tinggal se-cara diam-diam di sana, hanya keluar-masuk di malam hari, dengan lentera temaram. Kita mungkin akan menemukan geng penjahat yang putus asa dan mendapatkan hadiah untuk pe-nangkapan mereka. Bisa dibilang mustahil se-buah rumah kosong selama bertahun-tahun se-perti itu tanpa ada misteri di baliknya."

"Menurut Daddy pasti pipa-pipanya yang tidak beres," kata Polly.

"Huh! Orang dewasa selalu memikirkan pen-jelasan-penjelasan yang tidak menarik," kata Digory. Karena mereka sekarang sedang ber-bicara di loteng dengan cahaya matahari siang dan bukannya dengan sinar lilin di Gua Penye-lundup, semakin tidak tampak adanya kemung-kinan rumah kosong itu ada hantunya.

Ketika selesai mengukur loteng, mereka harus mengambil pensil dan melakukan penjumlahan. Awalnya mereka berdua mendapatkan hasil yang berbeda, dan bahkan ketika akhirnya mereka sependapat, aku masih belum yakin perhitungan mereka benar. Mereka begitu ter-buru-buru ingin segera memulai petualangan.

"Kita  tidak  boleh   bersuara,"   kata  Polly  ketika mereka memanjat lagi ke belakang tempat penyimpanan air. Karena ini peristiwa penting, mereka masing-masing membawa lilin (Polly punya banyak persediaan lilin di guanya).

Keadaan begitu gelap, berdebu, dan lembap saat mereka melangkah dari kasau ke kasau tanpa mengucapkan sepatah kata pun, kecuali ketika mereka saling berbisik, "Kita sudah ada di seberang lotengmu sekarang," atau "Kita pasti sudah setengah jalan melewati rumah kami". Keduartya tidak pernah tersandung dan lilin-lilin mereka tidak pernah padam, lalu akhirnya mereka mencapai suatu tempat mereka bisa melihat pintu kecil di dinding batu bata di sebelah kanan mereka. Tidak ada gembok atau kenop di sisi yang bagian sini tentu saja, karena pintu itu dibuat untuk masuk dan bukan keluar, tapi ada semacam pegangan (se-

perti   yang   biasa   ditemukan   di   pintu   lemari)

yang  mereka  yakin  bakal  bisa  diputar.

"Aku  buka?"  tanya  Digory.

"Aku mau kalau kau juga mau," kata Polly, seperti ucapannya sebelumnya. Keduanya me-rasa situasi mulai jadi serius, tapi tidak satu pun dari mereka yang mau mundur. Dengan agak susah payah, Digory menekan dan me-mutar pegangan itu. Pintu terayun terbuka dan sinar matahari siang yang mendadak meng-hambur keluar membuat mata mereka me-ngejap-ngejap. Lalu, bersama dengan rasa sa-ngat terkejut, mereka mendapati mereka sedang melihat, bukan loteng terlantar, tapi ruangan berperabot lengkap. Namun ruangan itu seperti-nya memang tak berpenghuni.

Sepi  sekali  didalamnya.  Rasingin tahu Polly menguasainya. Dia  meniulilinnya  hingga  padam  dan  masuk ke  ruangan asing itu,  nyaris tanpa  suara.
Ruangan itu berbentuk, tentu saja, seperti loteng tap dilengkap perabotan   al ruang duduk. Setiap sisi dinding ditutupi rak-rak dan setiap sudut dalam rak itu dipenuhi buku. Api menyal di  perapia (kau   pasti  ingat  bahwa musipanas  tahun  itu  begitu  basah  dan  di- ngin da d depan   perapian membelakangi Digory dan Polly, ada kursi berlengan yang berpunggung tinggi.  Di  antara  kursi  dan  Polly, mengisi sebagian besar ruangan,  ada  meja  besar yang dipenuhi berbagai benda—buku-buku ce- takan  dan  jenis  buku-bukyang  bisa  kautulisi, jug beberap botol   tinta pena lili segel, dan mikroskop. Tapi yang langsung menarik perhatian  Polly  adalah  baki  kayu  merah  yang di   atasnya  tergeletak  beberapa  cincin Cincin itu masing-masing berpasangan—yang kuning berpasangan dengan yang hijaulalu ada sedikit jarak kemudian   cinci kunin lag dengan cincin  hijau  lain.  Cincin-cinciitu  tidak  lebih besar  daripada  cincin-cincin   biasa dan  tidak ad yan bis mengalihkan   perhatia dari benda-benda itu karena mereka bersinar terang sekali.  Benda-benda  itu  benda  kecil  bercahaya

terindah yang bisa kaubayangkan. Kalau Polly lebih   mud usiany daripad saa itu dia past bakal   ingin  memasukkan  salah   satunya ke  mulut.
Ruangaitu  begitu  sepi  sehingga  kau  lang- sung  bisa  mendengar  bunyi  detakajam.  Na- mun seperti  yang  kini  Polly  sadari,  ruangan itu juga tidak benar-benar sepi. Ada suara berdengung yang samar—amat sangat samar. Kalamesin  penyedot  debu  sudah  ditemukan saat itu, Polly pasti akan berpikir itu suara penyedot debu yang sedang digunakan jauh sekali—terpisah darinya beberapa ruangan di beberaplantai  di  bawahnya.  Tapi  dengungan itu lebih menyenangkan daripada suara mesin, lebih  bernada:  hanya saja  begitu samar sehingga kau  nyaris  tidak  bisa  mendengarnya.
"Tidak  apa-apa—tidak  ada   orang  d sini," kata  Polly  ke  balik  bahunyke  Digory.  Seka- ran di bicar sedikit   lebi kera daripada bisikanLalu Digory keluar, matanya mengejap- ngejap dan  tubuhnya  tampak  kotor   sekalipasti  Polly juga  begitu.
"In bukan   pertand bagus, kat Digory. "Ini  sama  sekali  bukarumakosong.  Sebaik- nya  kita  cepat  pergi   sebelum  ada  orang   da- tang."

"Menurutm cincin-cinci ap itu?"    kata Polly sambil menunjuk cincin-cincin berwarna tadi.
"Aduh, ayolah,"  ajak  Digory.  "Semakin cepat kita—"
Dia  tidak  pernamenyelesaikan kata-katanya karen tepa pad saa it sesuatu   terjadi. Kurs berpunggung  tingg d depan   perapian tiba-tiba  bergerak daberdiri darbangkunyaseperti  iblis pantomim keluar  darpintu  bawah panggung—sosok mengejutkan Paman Andrew. Ternyata mereka tidak berada di rumah kosong, mereka  berada  di  rumaDigory  dan  di  ruang kerja yang terlarang dimasuki! Kedua anak itu beruca "O-o-oh da menyadari   kekeliruan besar mereka.  Mereka merasseharusnya  sudah tahu  mereka  belum pergi cukup  jauh.
Paman Andrew bertubuh tinggi dan sangat kurus.  Wajahnybersih bercukur dengan hidung bengkok tajam, matanya luar biasa tajam, dan rambutnya  beruban  lebat juga  berantakan.
Digory tak mampberkata-kata,  karena  kini Paman Andrew tampak seribu kali lebih me- ngerikan daripada sebelumnyaPolly belum merassetakut itu,  tapi tak  lama lagi pasti  begitu. Karena tindakan pertama yang Paman Andrew lakukan  adalah  berjalan  menuju  pintu  ruangan,

menutupnya, dan menguncinya. Lalu dia ber- balik, menatap lekat kedua anak itu dengan matanya yang tajam,  dan tersenyummenunjuk- kan  seluruh giginya.
"Nah!  katanya "Sekarang  kakakk yang bodoh  tidak  akan  bisa  membantumu!"
Tindakan   it sam sekal buka tindakan yang   kit harapka baka dilakuka orang dewasa. Jantung Polly rasanya mau melompat keluar di da Digory   pu mula berjalan munduke  pintu  kecil  yang  mereka  lalui  tadi. Tapi Paman Andrew terlalu cepat dibanding mereka.  Tahu-tahu  dia  sudah  beraddi  bela- kan mereka menutup   pint it juga lalu berdiri menghalanginya. Kemudian dia meng- gosok-gosokkan kedua  tangannydan  membuat buku-bukjemari  tangannya  berderak.  Jemari- nya  sangat panjang,  putih,  dan  bagus.
"Aku senang sekali kalian datang," katanya. "Tepat saat  aku  membutuhkan  dua  anak."
"Saya mohon, Mr Ketterly,"  kata Polly.  "Saat ini  sudah  hampir waktunya  makamalam  dan saya  harus  segera pulang.  Maukah Andmem- biarkan kami  keluar?"
"Belum,jawab Paman Andrew.  "Inkesem- pata yang   terlal bagu untu dilewatkan. Ak meman menginginka du anak Jadi

begini,  aku  sedang melakukan suatpercobaan besar Aku   sudah  mengetesnya  pada   hamster da tampakny a    berhasil.    Tap masalahnya hamste tida bis memberitahumu   apa-apa. Dan kau tidak bisa menjelaskan cara kembali kepadanya."
"Begini, Paman Andrew,kata Digory,  "seka- rang benar-benar saatnya makan malam dan mereka akan segera mencari kami. Kau harus membiarkan  kami  keluar."
"Harus? "  tanya  Paman Andrew.
Digory dan Polly bertukar pandang sekilas. Mereka tidak berani mengatakan apa-apa, tapi pandangaitu  berarti  "Ini  mengerikan  sekali" dan  "Kita  harus  membujuknya."
"Kalau Anda membiarkan kami  keluauntuk makan   mala sekarang, kat Polly,   "kami bisa  kembali lagi ke sini setelahnya."
"Ah,  tapi  bagaimana  aku  bisyakin  kalian akan melakukan itu?" tanya Paman Andrew dengan senyum licik.  Lalu tampaknya diberu- bah  pikiran.
"Yah, yah," katanya, "kalau kalian memang harus  pergi,   kurasa  kalian  harus  pergi Aku tidak  bisa  mengharapkadua  anak  muda  se- perti kalian bakal tertarik berbincang-bincang dengan  orang  tua  sepertiku."  Dia  mengembuska napa dan   melanjutkan.    "Kalia sama sekali tidak akan bisa membayangkan betapa terkadang  aku  sangat kesepian.  Taptidama- salah.  Pergilah  makamalam.  Tapi  aku  mem- beri  kaliahadiasebelum kalian pergi.  Tidak setia har ak bis melihat   gadi keci di ruang kerjaku yang membosankan initerutama, kalau  aku  boleh  berteruterang,  wanita  muda yang  sangat  cantik  sepertimu."
Polly   mula berpiki bahw mungki pria ini  tidaklah  segila  bayangannya.
"Apakah  kau  mau  cincin,  sayangku?"  tanya
Paman Andrew ke Polly.
"Apakah maksudmu salah  satu  cincin kuning ata hijau  itu? tanya   Polly "Ka bai sekali!"
"Bukan yang hijau," kata Paman Andrew. "Sayangnya  aku  tidak  bisa  memberimcincin yanhijau.  Tapi  aku  akan  senang  sekali  bila bisa memberimu salah satu cincin kuning itu, bersama rasa cintakuAyo, cobalasalah satu- nya."
Kini Polly sudah cukup menguasai rasa takutnya  dayakin  pria  tua  ini  tidaklah  gila, lagi pula pastinya memang ada sesuatu yang anehnya menarik pada cincin-cincin bersinar terang  itu.  Dia  bergeramendekati baki.

"Wah!  Astaga,"  katanya.  "Suardengungan itu terdengar lebih keras  dsini.  Hampir seolah cincin-cincin inilah  yang  mengeluarkannya."
"Khayalanmu indah sekali, Sayang," kata Paman Andrew sambil tertawa. Suara tawanya terdengar seperti tawa yang sangat biasa, tapi Digory sempat melihat ekspresi bersemangat, hampir  serakah,  dwajahnya.
"Polly! Jangan ceroboh!" Digory berteriak. "Jangan  sentuh cincin-cincin itu."
TerlambatTepasaat  Digory  berbicara,  ta- ngan Polly terulur untuk menyentuh salah satu cincin  itu.   Dan  mendadak,  tanpa  kilatan  ca- haya, suara, atau peringatan apa pun, Polly menghilang.  Hanya  tinggaDigordan  paman- nya  di  ruangan itu.

-----

BAB 2
Diggory dan Pamannya


    KEJADIAN  it begitu  tiba-tiba  dan  men- cekam, tidak  seperti  apa  pun yang pernah dialam Digory bahka dalam  mimp buruk sekalipun,  sehingga dia  menjerit.  Tangan Paman Andrew langsung membekap mulutnya.  "Henti- kan  itu! desisnya  di  telinga  Digory "Kalau ka teru membua keributan ibum akan mendengarnya.  Dan  kau  tahu  sendiri  apa  yang

bisa  terjadi  bila  dia  terlalu terkejut."
Seperti yang Digory ceritakan nanti, jenis kemarahan mengerikan yang ingin dilampias- kannya  kpria  itu  hampir membuatnya  muak. Tapi tentu  saja  dia  tidak  menjerit lagi.
"Begitu lebih baik," kata Paman Andrew. "Mungkin kau juga tidak bisa mencegahnya. Memang  mengejutka bil ka melihat   sese- orang  lenyap  untuk  pertama  kalinya.  Aku  saja

shock   wakt hamsterk menghilan kemarin malam."
"Apakah  itu  yanterjadi waktu  kau  menjerit tempo  lalu?"  tanya  Digory.
"Oh ,  kau  mendengar  itu,  ya?  Kuharap  kau tidak  sedang  memata-mataiku?"
"Tidak, tentu tidak," jawab Digory penuh gengsi.  "Tapi  apa  yang terjadi pada  Polly?"
"Beri aku selamat, keponakanku tersayang," kata  Paman Andrew,  menggosok kedutangan- nya.   "Percobaanku  telah  berhasil.  Gadis  kecil itu  lenyap—menghilang—keluar dari  dunia  ini."
"Apa  yang  telah  kaulakukan padanya?" "Mengirimnya  ke—yah—ke  tempat  lain." "Apa  maksudmu?"  tanya  Digory.
Paman Andrew duduk  dan menjawab,  "Baik-
lah,  aku  akan  menceritakasemuanya  kepada- mu.   Kau   sudah  pernah  dengar  kisah  tentang Mrs  Lefay yang tua? "
"Bukankah dia bibi buyutku atau semacam- nya?"  tanya Digory.
"Bukan   juga, kat Pama Andrew "Dia ibu angkatku. Itu dia,  di  sana,  di dinding."
Digory   mendonga da meliha fot yang sudah  buram:   wajah  wanita  tu mengcnakan top bonnet  yang  berpita   d bagia dagunya. Dan  dia  kini  bisa  mengingat  bahwa  dia  dulu

juga  pernah  melihat  foto  wajayang  sama  di lac tu d rumah  d desanya Di telah bertanya kepada ibunya siapa wanita itu dan ibunya tampak tidak terlalu berminat mem- bicarakan topiitu  lebih  lanjulagi.  Wajahnya sama  sekaltidak  menyenangkan, pikir  Digory, tap tent saj denga foto-foto   zama itu kita  tidak  akan  pernah  bisa  benar-benatahu.
"Apakah  ada—pernah ada—sesuatu yansa- lah padanya,  Paman Andrew?"  tanyanya.
"Yah,"  kata  PamaAndrew sambil terkekeh, "tergantundengan  apa  yang  kausebut sebagai salah.   Orang-orang   begit berpikira sempit. Dia memang sangat unik di masa hidupnya. Melakukan berbagai tindakan tidak bijaksana. Itulah  sebabnya  mereka  membungkamnya."
"Di rumah  sakit jiwa,  maksudmu?"
"O  bukan bukan bukan, kat Paman Andrew nad suarany terkejut "Bukan   di tempat yang seperti itu. Maksudku hanya pen- jara."
"Astaga!" kata Digory. "Apa yang telah dilakukannya?"
"Ah,  wanita  malang,"  kata  PamaAndrew, "ditelah  bertindak tidak  bijaksana.  Sebaiknya kit tidak   membaha semu itu Di selalu bersikap  baik  padaku. "

"Tapi  tunggu  dulu,  apa  hubungannysemua ini dengan Polly? Kenapa kau tidak langsung saja—"
"Semua  ada  waktunya, anakku,"  katPaman Andrew.    "Merek membiarka  Mr s    Lefay keluar  sebeludia  meninggal  dan  aku  salah satu dari sedikit orang yang dia izinkan me- nemuiny d hari-har terakhir   sakitnya Dia begitu membenci orang-orang biasa yang tidak pedulian, kau harus tahu itu. Aku sendiri juga begitu.  Akdan  dia  memiliki ketertarikan pada hal-hal  yansama.  Hanya  beberapa  hari  sebelukematiannya, dia  menyuruhku menghampiri mej ria tu d rumahnya,   membuk laci rahasia lal membawakan   kepadany kotak kecil yang kutemukan di dalamnya. Saat aku mengangkakotak  itu  aku  bisa  menduga  dari rasa kesemutan di jemari tanganku bahwa aku sedanmemegang  rahasia  besar  di  tanganku. Dia memberikan kotak itu kepadaku dan me- maksaku berjanji bahwa segera setelah dia meninggal akakan membakarnya, tetap dalam keadaatak  pernah  terbuka  dan  dengan  upa- cara  tertentu.  Aktidak  menepati  janji  itu."
"Yah, kalau begitu, kau jahat sekali," ko- mentar  Digory.
"Jahat?"  kata  Paman  Andrew  dengan  wajah

bertanya-tanya.  "Oh ,  aku mengerti. Maksudmu, anak-anak  lelaki  harus  menepatjanji.  Itu  sa- ngat benar: yang paling tepat dan pantas di- lakukan,  akyakin,  daaklega  kau  sudah diajar  untuk   bersikap  begitu.  Tapi  tentu  saja kau  harus  memahami  bahwperaturan  seperti itu, betapa pun bagusnya untuk anak-anak lelaki—pelayan—wanita—bahkan manusia pada umumnya, tidak bisa diharapkan berlaku pada siswa-siswa luar biasa, para pemikir dan ahli pengetahuan  hebat Tidak,  Digory Para   pria seperti aku, yang memiliki kebijakan tersem- bunyi, terbebaskan dari peraturan biasa seperti begitu juga kami terlepaskan dari kesenangan- kesenangan biasa. Takdir kami,  anakkuadalah takdir yang tinggi  dan  sepi."
Saat  mengatakan  ini  dia  mengembuskana- pas dan tampak begitu muram, mulia, juga misterius sehingga sesaat Digory benar-benar berpikir Paman Andrew sedang mengucapkan sesuatu yang sangat menakjubkan. Tapi kemu- dian dia teringat ekspresi  buruk yang dilihatnya di  wajah  sanpaman  beberapa  saat  sebelum Polly  menghilang.  Dia  pun  langsung  bisa  me- liha ap yang   ad d balik   kata-kat luar biasPaman Andrew.  Semua itu  hanya  berarti, katany pad diriny sendiri bahw Paman

Andre piki di bis melakukan   ap saja untuk  mendapatkaapa  pun  yang  diinginkan- nya.
"Tent saja, kat Paman   Andrew "aku tidak berani membuka kotak itu lama sekali, karena  aku  tahu  bisa  saja  isinya  sesuatyang sangaberbahaya.  Karena  ibu  angkatku wanita yang  amat  menakjubkan.  Sebenarnya,  dia  satu dari manusia-manusia terakhir yang memiliki darah  peri   dalam  tubuhnya (Dia   bilang  ada du orang   lai d masanya Salah   satunya seorang  bangsawan  bergeladuchess  dan  satu lagi wanita tukang bersih-bersih.) Bahkan, Digory,  saaini  kau  sedang  berbicara  dengan pria terakhir (mungkin) yang benar-benar memilik ib angka peri Nah  It aka jadi sesuatu yang  bakal  kauingaketika  kau  sendiri sudah  menjadi  pria  tua."
Ak beran bertaru di per yang   jahat, pikir  Digory,  lalu  menambahkan dengakeras, "Tapi  bagaimandengan  Polly?"
"Kenapa kau terus-terusan meributkan ma- salah  itu?"  kata  Paman  Andrew.  "Seolama- salah itulah yang paling penting! Tugas per- tamak adalah   tent saja   mempelajar kotak itu  sendiri.  Kotaknya kuno  sekali.  Dabahkan pada  saat  itu  aku  tahu  cukup  banyak  untuk

yaki kota tersebu buka buatan   Yunani, Mesir kuno, Babilonia, Hittite, ataupun Cina. Usianya lebih tua daripada negara-negara itu. Ah—benar-benar hari  yang  indaketika  akhir- nya aku mengetahui kebenarannya. Kotak itu buata bangsa   Atlantis datangny dar ke- pulauan Atlantis  yang hilang.  Itu  berartkotak itu jauh lebih tua  berabad-abad daripadbenda- benda  Zama n  Batu  yang  digali  di  Eropa.  Dan bend it jug tidakla kasar   da mentah seperti   barang  Zama  Batu Karen d awal masa,  Atlantis  sudah  menjadkota  hebat  de- ngan istana-istana, kuil-kuil, dan orang-orang terpelajar."
PamaAndrew  berhenti  sesaat  seolah  men- duga   Digory  akan   mengatakan  sesuatu Tapi ana it semaki tida menyukai   pamannya sejalan  dengan  setiameniyang  berlalu,  jadi dia  tidak  mengucapkan  apa-apa.
"Sementar itu, Paman   Andrew  melanjut- kan "ak sedang   mempelajar banya sihir secara  umum  dengan  berbagacara  (yang  ku- ras tidakla panta bila   dijelaskan   kepada anak kecil). Itu berarti aku mendapatkan ba- yangan yang cukup jelas tentang benda-benda macam apsaja yang mungkin berada di  dalam kotak itu


kan  berbagai  kemungkinan.  Aku  harumenge- nal  beberapa—yah,  sejumlah  oranjahat  aneh, dan melalui berbagai pengalaman yang sangat tidak menyenangkan. Semua itulah yang mem- bua rambutk beruban Seseorang   tidaklah begitsaja  menjadi penyihir.  Kesehatanku sem- pat   ambruk Tapi   aku   membaik Da aku akhirnya  tahu."
Meski tidak ada  kemungkinan, walabarang sedikit pun,  ada  oranlain yang mendengarkan pembicaraan mereka, Paman Andrew mencon- dongkan tubuh ke depan dan hampir berbisik ketika  berkata:
"Kotak Atlantis itu berisi sesuatu yang telah dibawa  dardunia  lain  ketika  dunia  kita  baru saja  dimulai."
"Apa? "  tanya  Digory  yang  kini  jadi  sangat tertarik,  tanpa  bisa menahan  diri.
"Hanya debu,"  jawab Paman Andrew.  "Debu

bagu da kering Tida banya yan bisa dilihat Bahka bis dibilang tida banyak yang  bisa  ditunjukkan  setelah  kerja  keras  se- umur  hidup.  Ah,  tapi  waktu  aku  melihat  debu it (ak benar-benar  berhati-hati  untuk  tidak menyentuhnya)  dan  berpikir  bahwa  setiap  butir pernah  berada  di  dunia  lain—maksudkbukan plane lai tentunya planet-plane it juga bagian  dari  dunia  kita  dan  kau  bisa  mencapai- nya  kalau  kau  pergi  cukup  jauh—tapi  Dunia Lai sungguhan—Ala Lain
jagat  raya  lain—suatu  tempat yang  tidak  akan  pernah  kau- capai  walaupun  kau  menjelajahi lua angkas jaga ray ini   se- lama-lamanya—dunia yang  hanya bisa  dicapai  dengan  sihir—nah!" Saat    mengataka n    itu    Pama Andre menggosok-gosokka ke- dua  tangannya  sampai  buku-buku jemarinya    berdera seperti
kembang  api.

"Aku  tahu,"  dia  melan- jutkan,  "hanya  kalau  kabisa  menemukan  bentuk  tepatnya  maka  debu itu bisa menarikmu ke tempat asalnya. Tapi kesulitannya    justru    terletak    pad a    mencari bentuk tepatnya itu. Pengalaman-pengalaman terdahuluku semua  adalah kegagalan.  Aku men- cobanya pada hamster. Beberapa di antaranya hanya mati.  Beberapa yang lain meledak seperti bom-bom  kecil—"
"Itu tindakan yang kejam sekali," kata Digory, yang dulu pernah punya kelinci.
"Kenapa kau selalu bisa mengalihkan topik pembicaraan?" kata Paman Andrew. "Itulah gunanya  makhluk-makhluitu.  Aku  membeli- nya sendiriSekarang sebentar—sampai di mana aku  tadi?  Aya.  Akhirnya  aku  berhasil  mem- buat cincin-cincin itu: cincin yang warnanya kuning.  Tapi  sekarankesulitan  baru  muncul. Aku cukup yakin saat ini, bahwa cincin yang kuning  bisa  mengirimkamakhluk  mana  pun yang menyentuhnya ke Tempat Lain.  Tapapa- lah gunanya itu semua kalau aku tidak bisa mengembalikan mereka  untuk  berceritkepada- ku  apa  yang telah mereka  temukan di  sana?"
"Da n    bagaiman nasib     mereka?"    tanya Digory. "Kekacauan yang bakal mereka temui kalau  mereka  tidak  bisa  kembali!"
"Kau terus-menerus melihat  segala sesuatunya

dengan sudut pandang yang salah,"  katPaman Andrew dengan ekspresi tidak sabar. "Tidak bisaka kau   mengert semu in pengalaman hebat? Tujuan utama mengirim siapa pun ke Tempat Lain adalah supaya aku bisa tahu bagaimana  rasanya."
"Kalau begitu, kenapa kau tidak pergi saja sendiri ke  sana?"
Digory nyaris tidak pernah melihat seseorang tampak begitu terkejut dan tersinggung seperti Paman Edward sekarang hanya karena perta- nyaan sederhana itu.  "Aku? Aku?"  diberseru. "Anak ini pasti gila! Pria dengan usiaku, dengan keadaan kesehatan sepertiku, rela mengambil risiko kejutan dan bahaya yang mungkin muncul karena  mendadak  dilemparkake  dunia  lain? Ak tidak   perna mendengar   ap pu yang begitu  tidak masuk  di  akal  sepanjanhidupku! Apakah kausadar dengan yang baru saja kau- katakan? Bayangkan apa arti kata Dunia Lainkau mungkin saja  bertemu apa pun—apa pun. "
"Tapi kurasa tidak masalah bagimu untuk mengirim Polly ke sana," kata Digory. Pipinya terbakar  karen amarah   sekarang "Dan  aku hanya  bisa  berkata,"  dimelanjutkan,  "biarpun kau pamanku—kau telah bertindak pengecut, mengiri ana perempua k tempa yang

terlal menakutka bagim untu perg sen- diri."
"Diam kau!" kata Paman Andrew, sambil memukul  meja   keras-keras "Aku  tidak   akan sudi  diceramahseperti itu  oleh  anak  sekolahan keci yang   kotor Ka tida mengerti Aku ilmuwa besar,   sang  penyihir si  pakar  yang sedang melakukan percobaan. Tentu saja aku membutuhkan seseorang untuk menjadi subjek percobaan.  Demi  jiwaku,  jangan-jangasetelah ini kau akan berkata bahwa seharusnya aku meminta  izin  pada  hamster-hamsterksebelum aku menggunakan mereka! Tidak ada kebijakan besar   yang   bis dicapa tanp pengorbanan. Tapi  gagasan seharusnya  aku pergi  sendirada- lah omong kosong.  Itseperti meminta jenderal berperan sepert prajurit   biasa Seandainya aku terbunuh, apa jadinya kerja keras seumur hidupku?"
"Oh  berhentila membual, kat Digory. "Kau  akan  membawa  Polly kembali, tidak?"
"Ak baru   saj akan   memberitahumu  soal itu  ketika  dengan  tidak  sopakau  memotong- ku, kat Paman   Andrew "Bahw akhirnya aku menemukan cara untuk melakukan perja- lanan pulang. Cincin-cincin yang hijau akan menarikmu  pulang."

"Tap Poll tida membawa   cinci yang hijau."
"Tidak,kata Paman Andrew dengan senyum jahat.
"Kalau begitu dia tidak akan bisa kembali," teriak  Digory.  "Dan  itu  sama  saja  dengakau sudah  membunuhnya."
"Dia bisa saja kembali,kata Paman Andrew, "kalaada  orang yang menyusulnya, mengena- kan cincin kuning sambil membawa dua cincin hijau, satu untuk membawa orang itu sendiri pulang   da yan sat lagi   untu membawa Polly pulang."
Dan  saaini  tentu  saja  Digory  sudah  bisa melihat jebakayang  menjeratnya.  Dia  meman- dang  PamaAndrew,  tanpa  mengatakaapa- apa,  dengan mulut ternganga lebarKedua pipi- nya  kini  pucat sekali.
"Aku berharap," kata Paman Andrew kini denga suar yan sangat   tingg da kuat, seolah dia paman sempurna yang baru saja memberi  seseorang  uang  saku  besadan  na- sihat  baik,  "Aku  berharapDigory,  kau  tidak akan   mundur  da menyerah.   Ak akan   jadi sangat   menyesa bil ad anggot keluarga kita yang tidak memiliki kehormatan dan ke- beranian yang cukup  besar untuk  bersedia pergi

menyelamatkan—ngnglad yan dala ke- susahan."
"Oh  diamlah! kat Digory "Kala kau punya  kehormatadan  segala  itu,  kau  sendiri yang   akan   pergi Tap ak tah ka tidak aka melakukan   itu Baiklah Ak mengerti aku harus pergi. Tapi ternyata kau memang monster.  Kurasa  kau  sudah  merencanakan  se- mua ini supaya Polly pergi tanpa sepenge- tahuannya sehingga kemudian aku harus pergi menjemputnya."
"Tentu saja," kata Paman Andrew dengan senyumnya  yang  menyebalkan.
"Baiklah.  Aku  akapergi.  Tapi  sebelumnya ada satu hal yang harus kukatakan. Aku tidak pernah  percaya pada  sihihingga  hari  ini.  Aku liha sekarang   sihi adala nyata Yah dan kalau  sihir  memanada,  berarti  kurasa  segala kisah  tua  tentanperi  juga  kurang-lebih  benar. Dan  kau  tidak  lain  adalah  penyihir  licik  yang kejam  seperti  yang  ada  di  dalacerita-cerita. Nah  ak tida perna membac cerit di mana orang-orang seperti itu tidak mendapat ganjaran  di  akhikisah,  dan  aku  berani  ber- taru itulah   yan jug aka kaualami Kau pantas  menerimanya."
Dari  segala hal yang telah  diucapkan Digory,

kata-katanya yang inmerupakan yang pertama yang mengenai sasaranPaman Andrew terkejut kemudian muncul awan ketakutan menaungi wajahnya   yang meskipun   di begit kejam, nyaris bisa membuatmu mengasihaninya. Tapi sedetik kemudian dia mengusirnya pergi dan berkata ditemani tawa yang agak dipaksakan, "Yah,  yah kuras it ha biasa   yan bakal muncul  di  benak  seorang  anak—terutamka- rena  dibesarkan dantara wanita-wanita, seperti dirimu.  Kisah-kisaistri  tua,  hah?  Kurasa  kau tidak perlu mencemaskan bahaya yang akan mendatangiku Digory Bukankah   lebi baik kau  mengkhawatirkan  bahayyang  mengham- piri teman kecilmu itu? Dia sudah pergi cukup lama.   Kalau  memang  ad bahaya  Di  Sanayah, akan sangat disayangkan bila kau tiba terlambat."
"Seolah kau peduli saja," kata Digory penuh amarah "Tap ak sudah   mua mendengar segal buala ini Ap yang   haru kulaku- kan?"
"Kau  benar-benaharus  belajar  mengendali- kan  emosimu,  anakku,  kata  Paman  Andrew tenang.  "Kalau tidakau  akan tumbuh menjadi seperti Bibi Letty.  Sekarang. Kemarilah."
Paman  Andrew  bangkit,  mengenakan  sepa-

sang  sarung  tangan,  lalu  berjalan  menuju  baki tempat  cincin-cincin  itu  berada.
"Cincin-cincin ini  hanya  berfungsi,"  katanya, "kalau  mereka  benar-benar  menyentuh kulitmu. Kalau  memakai sarung tangan,  aku  bisa  meng- angkatnya—seperti ini—tanpa  ada  kejadian  apa- apa Kala ka membaw sala satuny di sakumu  juga  tidak  akan  terjadi  apa-apa,  tapi tentu  saja  kau  harus  berhati-hati  untuk  tidak memasukkan tangan ke  saku  dan  tanpa  sengaja menyentuhnya.  Di  saat  menyentuh  cincin  ku- ningmu, kau akan lenyap  dari dunia ini.  Waktu kau  berada  di  Tempat  Lain,  dugaanku—tentu saj in belu dite kebenarannya,  tap aku menduga—saat  kau  menyentuh  cincin  hijau  kau akan menghilang dari  dunia  itu  dan—perkiraan- ku—muncul  kembal d duni ini Sekarang. Aku  akan  mengambil  dua  cincin  hijau  ini  dan memasukkan keduanya  ke  saku  sebelah  kanan- mu.  Ingatlah  dengan  sangat  hati-hati  di  mana cincin  yang  hijau  berada.  Hijau  sama  dengan Green Kana sam denga Right  untuk Gree da  untu Right G.R ka lihat: adala du huruf  pertam kat Green Satu untukmu  dan  satu  lagi  untuk  si  gadis  kecil. Dan  sekarankau  ambillasendiri  cincin  yang kuning.  Aku  akan  mengenakannya—di jariku

kala ak jad kau Kemungkina jatuhnya akan  lebih  kecil  bila  kaulakukan itu."
Digory hampir  saja  mengambicincin  kuning ketika  tiba-tiba  dia  berhenti.
"Tunggu dulu,"  katanya.  "Bagaimandengan Ibu? Bagaimana kalau dia menanyakan ke- beradaanku?"
"Semaki cepa ka pergi semaki cepat kau  akan  kembali,"  kata  Paman  Andrew ceria. "Tapi  ka bahkan  tida benar-benar  yakin
aku  bisa  kembali."
Pama Andrew   mengangka bahunya ber- jalan menyeberangi ruangan menuju pintu, membuka kunci, membukanya lebar-lebar dengan  entakan,  dan  berkata:
"Oh  baikla kala begitu Tersera kau saja. Turunlah dan santap makan malammu. Biarkan si gadis kecil itu dimakan binatang- binatang  liar,   tenggelam,  kelaparan  d Dunia Lain ata tersesat   d san selama-lamanya, kala itu   yang  kauinginkan Semuanya  sama saj bagiku.   Mungkin  sebelum  waktunya  mi- nu te sebaikny ka mampir   k sebelah dan  menemuMrs  Plummeuntuk  menjelaskan ditidak  akan pernah melihat anak perempuan- nylagi karena kau takut mengenakan sebentuk cincin."

"Ya ampun," kata Digory, "aku benar-benar berharap aku  sudah cukup  besauntuk  meninju kepalamu!"
Lalu Digory mengancingkan mantelnya, me- narik   napas   dalam-dalam da meraih  cincin itu Da saat   it di berpikir sepert yang selalu  dia  lakukan setelahnya,  bahwkata  hati- nya tidak akan membiarkannya mengambil pilihan  lain.

-----


BAB 3
Hutan di Antara Dunia-Dunia


Paman Andrew dan    ruang    kerjanya langsung menghilang.  Kemudian selama  se-
saat, segalanya menjadi seolah bertumpuk-tum- puk.  Hal  selanjutnya yang Digory ketahuada- lah adanya cahaya hijau lembut yang menyi- narinya  dari  atas  dan  kegelapadi  bawahnya. Dia  tidak  tampak  seperti  sedang  berdiri  atau apa  pun,  ataduduk,  ataberbaring.  Seolah tidak  ada  yanmenyentuhnya.  "Sepertinya  aku ad d dalam   air, kat Digory "Atau   di bawah air." Pemikiran ini sempat membuatnya takut, tapi hampir seketika dia bisa merasakan tubuhnya  naik  dengan  cepat.   Lalu  kepalanya tiba-tib keluar  d udar dan   di mendapati dirinya berenang ke tepian, menuju daratan berumput lembut  di  pinggir  suatu  mata  airSaa bangki di menyadar diriny tidabasa kuyu da meneteska air Di juga tidak terengah-engah mencari  udara  seperti yang akan  diperkirakan  semua  orang  bila  habis  ber- ad d bawa air Pakaianny sam sekali kering.  Dia  sedang  berdiri  di  pinggir  mata  air kecil—tidak  lebih  dari  tiga  meter  dari  satu  sisi ke  sisi  lainnya—dalam suathutan.  Pepohonan tumbuh  rapat  dan  berdaun  lebat  sehingga  dia bahka tida bis menginti langit Semua cahaya    berwarna    hijau    dan    menyerua di antar dedaunan tap pastiny d ata sana ada  matahari yang  bersinar  sangat kuat  karena


sinar   hijau   yan dirasakanny begit terang da hangat Huta it hutan   tersuny yang mungki n    bisa    kaubayangkan .    Tida k    ada burung-burung, tidak ada serangga, tidak ada hewan-hewan, dan  tidaada  angin.  Kau  nyaris bisa  merasakan  pepohonan  tumbuh.  Mat a  air tempat Digorbaru  saja  keluar  ternyata  bukan- lah  satu-satunymata  air  di  sana.  Ada  lusinan mata  air  lain—satmata  air  di  setiap  meter sejauh  matamu  bisa  memandangKau  hampir bismerasakan pepohonan mengisap air dengan akar-aka mereka Huta  it sanga hidup. Ketik berusah melukiskannya   nant Digory selalu  berkata,  "Tempat itu  begitkaya,  sekaya kue  plum.'"
Hal  teranehnya, hampir  sebeludia  memandang  ke  sekeliling,  Digorseparo  lupa  bagai- man di bisa   datang   k sana Pad suatu titik,  dia  pastinya  tidak  memikirkaPolly,  Pa- maAndrew,  atau  bahkan  ibunya.  Dia  sama sekaltidak  takut,  bersemangat, atau penasaran. Kala ad yan bertanya   kepadanya "Dari mana asalmu?" dia mungkin bakal menjawab, "Tempat  tinggalku  dari  dulu  di  sini."   Seperti itulah  rasanya—seolah  seseoransudah  berada d tempa it sejak   lam da tidak   pernah merasa  bosan, walaupun tidak  ada  yang pernah

terjad d sana Seperti   yan diceritakannya lam setelah   itu "Tempa it buka jenis tempat di mana banyak hal terjadi. Pepohonan terus  bertumbuh,  itu  saja."
Setelah lama memandangi hutan itu, Digory menyadari  ada  gadis  kecil  berbaring  telentang d kaki   poho beberap mete dar dirinya. Mata  gadis  itu  nyaris  tertututapi  tidak  ter- pejam seolah   di sedan berad d antara keadaan tidur dan bangun. Jadi Digory me- natapnya  lama  sekali  datidak  berkata  apa- apa Dan   akhirnya  gadis  itu  membuka  mata dan  memandangi Digory lama  sekali,  jugtan- p berkat apa-apa Lal gadis   it bicara, dengan  suara  yanpelan  dan  lembut  seperti orang  mengantuk.
"Sepertinya aku pernah bertemu denganmu sebelumnya,"  katanya.
"Menurutku juga  begitu,"  kata  Digory.  "Kau sudah  lama  berada  di  sini?"
"Oh ,  aku  selalu  ada  di  sini,"  kata  si  gadis. "Setidaknya—entahlah—lama  sekali."
"Akjuga,"  ucap  Digory.
"Tidak ah," kata si gadis. "Aku baru saja melihatmu  keluar  dari  mata  air  itu."
"Ya, mungkin memang begitu," kata Digory kebingungan.  "Aku  lupa."

Kemudian  untuk  beberapa  saat  yancukup lama  keduanya  tidak  saling  bicara  lagi.
"Tunggu dulu," katsi gadis tiba-tiba,  "kira- kira  kita  memanpernah  bertemu,  tidak  ya? Aku punya sejenis bayangan—semacam gam- baran di kepalaku—tentang anak laki-laki dan perempuan seperti kita—tinggal dsuatu tempat yang  agak   berbeda—dan  melakukan  berbagai hal.  Mungkin itu  hanya  mimpi."
"Aku juga punya mimpi yang sama, seperti- nya, kat Digory.    "Tentan ana laki-laki dan perempuan, tinggal bersebelahan—dan se- suatu tentang merangkak di antara kerangka rumah. Aku ingat anak perempuan itu mukanya kotor."
"Sepertinya ingatanmu terbalik?  Dalamim- pik justr s ana laki-laki   yang  wajahnya kotor."
"Aku  tidak  bisa  mengingat wajah  analelaki itu,kata Digory kemudian menambahkan, "Wah!  Apa itu?"
"Wah!  Itu  kahamster,"  kata  si  gadis  kecil. Dan  memang  benar—di  sana  ada  hamstegen- dut, mengendus-endus rumput. Tapi di sekeliling perut  hamsteitu  ada  tali  dan,  terikat  di  tali itu,  cincin kuning yang  bersinar terang.
"Lihat Lihat! teriak  Digory "Cincin  itu!


Da lihat Ka jug me- ngenakan cincin  seperti
it di   jarimu Aku juga."
Si   gadi keci itu
kinduduk tegak,  akhirnya  benar-benar tertarik. Mereka menatap satu sama lain lekat-lekat, berusah mengingat Kemudian   d saat  yang tepa bersamaan si    gadi berteriak,    "M r Ketterley," dan si anak lelaki berseru, "Paman Andrew, lalu   merek pu tah siap diri mereka dan mulai mengingat keseluruhan cerita. Setelah banyak berbincang-bincang selama be- berapa menit, akhirnya mereka mengingat semuanya.  Digory menjelaskan betapkejamnya tindakan  Paman  Andrew.
"Apa   yang   haru kit lakuka sekarang?" tany Polly "Membaw pulang   hamste ini dan  kembali ke  dunia  kita?"
"Tidak   perl terburu-buru, kat Digory, sambil menguap lebar sekali.
"Kurasharus  begitu,"  kata  Polly.  "Tempat ini  terlalu  sunyi.  Begitu—begitseperti  mimpi. Kau sendiri nyaris tertidurSekali kita menyerah terhadap   pengaruhny kit hany aka ber- baring dan dalam keadaan setengah tertidur selama-lamanya."

"Tapi  nyaman  sekali  berada  di  sini,"   kata
Digory.
"Ya, memang benar," kata Polly. "Tapi kita harus kembali."  Dia  berdirdan mulai  berjalan menghampiri si hamster dengan hati-hati. Tapi kemudiadia  berubah  pikiran.
"Sebaiknykita  biarkan  saja  si  hamster  di sini,"  kata  Polly.  "Dia  tampak  begitu  bahagia di tempat ini, dan pamanmu hanya akan me- lakukan   sesuatu   yan buru padany kalau kita  membawanya  pulang."
"Aku  yakin  dia  akan  melakukan  itu,"   ko- mentar Digory. "Lihat saja caranya memper- lakukan  kita.   Omong-omong,  bagaimana  cara kita  pulang?"
"Kurasa  sih,  lewat mata  air itu lagi."
Merek berjalan   mendekat mat ai dan berdiri berdampingan di tepinya, menunduk menatap permukaan air yang datar. Pada per- mukaan itu terlihat bayangan cabang-cabang pohon yang hijau penuh dedaunan sehingga tampak  sangat  dalam.
"Kita  tidak  punya  perlengkapaberenang," kata  Polly.
"Kita tidak butuh semua itu, bodoh," kata Digory "Kit aka menyelam   k dalamnya dengan  pakaialengkap.  Masa  kau  tidak  ingaairnya  sama  sekali tidak membasahi kita  ketika kita naik  ke  sini?"
"Kau  bisa  berenang?" "Sedikit.  Kau  bagaimana?" "Yah—tidak  terlalu  bisa."
"Kuras kit tida aka perl berenang,"
kata  Digory "Kita  kan  mau  pergi  ke  bawah-
nya, ya  kan?"
Tidak  satu  pun  di  antara  merekmenyukai ide  melompake  mata  air  itu,  tapi  tidak  ada yang mengatakannyaMereka  bergandengan ta- ngan dan berkata "Satu—Dua—Tiga—Lompat" lalu  melompat.  Merekmerasakan cipratabe- sar  dan  tentu  saja  mereka  memejamkamata. Tapi ketika membuka mata lagi, mereka men- dapati  dirmereka masih  berdiri,  bergandengan tangadi  hutan  hijau,  dan  nyarihanya  teren- dam  air  hingga  ke  mata   kaki.   Mata   air  itu ternyata beberapa sentimeter dalamnya. Mereka berjalan  kembali ke  daratan kering.
"Apa sebenarnya yang salah?" tanya Polly dengan suara ketakutan, tapi tidaklah setakut seperti   yang  kaubayangkan,  karen sangatlah sulit  merasa  sangatakut  saat  berada  di  hutan itu.  Tempat itu  terlalu  damai.
"Oh !  Aku  tahu,"  kata  Digory.  "Tentu  saja, ini tidak akan berhasil.  Kitmasih mengenakacincikuning kita.  Cincin-cincin ini  kan  untuk perjalanan  pergi.  Cincin-cincin yanhijau  akan membawa kita pulang. Kita harus mengganti cincikita.  Kau  punya  saku?  Bagus.  Simpan cincin kuningmu di saku kiri. Aku punya dua cincin  hijau.  Ini  satu  untukmu."
Mereka mengenakan cincin hijau dan kembali ke mata air. Tapi sebelum mereka mencoba melompa lagi Digory   mengeluarka "O-o- oh!"  yang panjansekali.
"Ada  apa?"  tanya Polly.
"Aku baru saja mendapat ide bagus," kata Digory.  "Untuk  apakamata  air-mata  air lain- nya?"
"Apa  maksudmu?"
"Begini,  kalau  kit bisa   kembali  k dunia kit sendir denga melompat   k mat air yang  ini,  bukankah  berartkita  bisa  pergi  ke tempa lai denga melompat   k mat air lain?  Mungkisaja  ada  dunia  di  bawah  setiap mata  air."
"Tapi bukankah kita sudah berada di Dunia Lain,  TempaLain,  atau  apalah  namanya  itu yan dibicaraka Paman   Andrew Bukankah kau  bilang—"
"Ah ,    lupaka n    Pama n    Andrew,"    poton g
Digory "Kurasa  di bahkan  tidak  tahu  apa-apa tentang itu. Dia tidak pernah punya ke- berania untu datang   k sini   sendiri Dia hany bicara   tentang  satu   Duni Lain Tapi siapa  tahu  ada  lusinan?"
"Maksudmu ,  hutaini  mungkin hanya  salah satunya?"
"Tidak,   menurutk huta in sam sekali bukadunilain.  Menurutku tempat ini hanya- lah  semacam tempat  di  antaranya."
Polly  tampak  bingung.
"Tidakkah kalihat?"  tanya Digory.  "Tidak, dengar  dulu.  Pikirkan  terowongakita  di  ba- wah  papan-papadi  rumah.  Tempat  itu  kan bukan  ruangadi  salah  satu  rumah.  Bisa  di- bilang,   terowongan  it bahkan  buka benar- benar  bagiadari rumah-rumah. Tapi sekalinya kau  berada  di  terowongan,  kau  bisa  berjalan di  dalamnya  dan  datang  ke  rumah  mana  pun di  deretan rumah kita.  Mungkin  saja  hutaini juga  sama,  kan?—tempayang  bukanlah  salah satu  dunia,  tapi  sekali  kau  menemukatempat ini kau  bisa  masuk ke  dunia mana pun. "
"Yah,  kalaupun  kau  bisa—"  Pollmemulai, tapi  Digormelanjutkan  seolah  tidak  mende- ngar  kata-katanya.
"Dan tentu saja itu menjelaskan segalanya," katanya "Itula sebabny tempa in begitsepi dan kita selalu merasa mengantuk. Tidak pernah  ada  kejadian  apa  pun  di  sini.  Seperti di   rumah Di   dalam  rumah-rumahlah  orang- orang berbicara, atau melakukan hal-hal, juga tempamereka  makan.  Tidak  ada  yang  terjadi di  tempat-tempaperantara:  di  belakang  din- ding, datas langit-langit, atau dbawah lantai, juga   d dalam   terowongan  kita Tap ketika kau  keluar  dari  terowongankau  akan  men- dapati   dirim berad d ruma man pun. Kurasa  kita   bisa  keluar  dari  tempat  in dan menuju tempat mana pun! Kita tidak perlu melompat kdalam mata air yang sama dengan yang kita lewatiAtau  belum saatnya."

"Huta n  di  Antara  Dunia-Dunia,"  kata  Polly menerawang.  "Kedengarannya  bagus  juga."
"Ayo, kat Digory.    "Kola man yang akan  kita  coba?"
"Tunggu dulu," kata Polly, "Aku tidak akan mencoba   mat ai bar sebelum  memastikan kit memang   bisa   pulan melalu mat air yang   pertama Kit bahka tida yaki itu cara  yang  benar."
"Benar," kata Digory sinis. "Kita akan di- rangkap  Paman  Andrew  daharus  menyerah- ka cincin-cincin   kit sebelu sempa ber- senang-senang. Tidak,  terima  kasih."

"Tidak bisakah kita  sampai di  setengah jalan ke bawah mata air kita?" tanya Polly. "Hanya untu meliha car in benar-benar   manjur. Lalu  begitu  kita  tahu  itu   berhasil,  kita  ganti cincin dan kembali naik sebelum benar-benar sampai  di  ruang  kerja  Mr  Ketterly."
"Bisakah kita  pergi  separo  jalan  ke  bawah?" "Yah,  cukup  lama  waktu  yang kita  perlukan untuk  naik,  kurasa  bakal  memakan  waktu  se-
dikit  lama  untuk  kembali."

Digor aga suli menyetujui   rencan ini, tapi  akhirnya  dia  terpaksa  setujkarena  Polly sam sekali   menola melakuka penjelajahan k dunia   baru  apa  pu sebelum  memastikan dibisa kembali ke dunia  asalnya. Dikurang- lebih sama beraninya dengan Digory dalam menghadapi   beberap bahay (tawon misal- nya),  tapi  Polly  tidaklatertarik  menemukan hal-hal yanbelum pernah didengar siappun. Sedangkan Digory tipe orang yang ingin menge- tahu segalanya da ketik tumbuh   dewasa dia  menjadi  Profesor  Kirke  yang  terkenayang akan  muncul  di  buku-buku  lain.
Setelah cukup lama berdebat, mereka sepen- dapat untuk mengenakan cincin hijau mereka ("Hijau  untuk  keamanan,"  kata  Digory,   "jadi ka tida bis tida mengingat  cinci yang

mana  untuk  apa") ,  lalu  mereka  bergandengan tangadan  melompat.  Tapi  segerketikmerek tampa aka kembal k ruang   kerja Paman   Andrew ata bahka duni mereka sendiri, Polly bertugas  untuk berteriak,  "Ganti " dan mereka akan membuka cincin hijau lalu memakai  cincin  kuning  lagi.  Digoringin  jadi yan bertuga berteriak "Ganti, tapi   Polly tidak  juga  mau  setuju.

Mereka mengenakan cincin hijau, saling menggamit tangan, dan sekali lagi berteriak "Satu—Dua—Tiga—Lompat". Kali  ini  caritu manjur.    Sangatlah    suli menceritaka pada kalia bagaimana   rasanya karen segalanya terjadi  begitu cepatAwalnya  ada cahaya-cahaya teranyang  bergerak  di  langihitam.  Digory selalu menganggap cahaya-cahaya itu bintang- bintang dan bersumpah melihat Planet Jupiter cukup    dekat—cuku p    dekat    untuk    melihat bulannya. Tapi hampir sekaligus terlihat oleh mereka  barisan dembarisan atap dan cerobong asap di atas, mereka juga bisa melihat St Paul sehingga tahu mereka sedang melihat peman- dangan London. Tapi kabisa  melihat menem- budinding-dinding semua rumah.  Lalu mereka bisa melihat Paman Andrew, sangat samar dan berbayang-bayang,  tapi  semakin  lama  semakikelihatan jelas dan nyata,  seolah dikian men- dekat fokus Tap sebelu Paman   Andrew menjadi benar-benar nyata, Polly berteriak "Ganti" ,  dan  mereka  langsung  mengganti  cin- cin, dunia kita pun mengabur seperti mimpi, kemudian  cahay hijau   d atas   menjadi  kian terang dan terang, hingga kepala mereka keluar dar mat air  dan  mereka   berlari  ke  tepian. Kini  hutamengelilingi  mereka  lagi  hingga  ke atas, masih sehijau dan seterang dulu. Seluruh prose it hany mengambil   wakt kurang dari  satu  menit.
"Nah! "  kata Digory.  "Sudah bisa, kan?  Seka- rang mari kita  bertualangMata  air yang mana pun  boleh.  Ayolah.  Ayo  kitcoba  yang  satu itu."
"Stop!"  kata Polly.  "Tidakkah sebaiknya kita tandai  mata  air yang  ini  dulu?"
Mereka  bertatapadawajah mereka  berdua memucat  saat  mereka  menyadarhal  mengeri- kan yang baru saja akan Digory lakukan. Ada begitu  banyamata  air  di  di  hutan  ini,  dan semua mata air tampak serupa, begitu juga pepohonannya. Kalau sekali saja mereka me- ninggalkan   mat ai yan merupakan   jalan menuju dunia mereka sendiri tanpa membuat semacam  tanda,  kemungkinannya  seratus  banding  satu   bagi  mereka  untuk  menemukannya lagi.
Tangan  Digory gemetaran  saadia  membuka pisau  lipatnya  dan  memotonsebongkapan- jang  rumput  di  tepian  mata  air.  Tanah  hutan itu (yang wangi sekali) berwarna cokelat ke- merahan gembur dan tampak kontras di antara hijarerumputan.  "Untung salah satu  di  antara kita  berakal sehat,"  kata  Polly.
"Yah,  kau  kan  tidaperlmenyombongkan dirhanya gara-garmasalah ini,"  kata  Digory. "Ayolah,  aku  ingin  melihaada  apa  di  balik mata air-mata air yang lain." Polly membalas ucapan   Digor dengan   cuku pedas Digory pu mengucapka sesuat yang   lebi ketus lagi sebagai balasannya. Pertengkaran itu ber- langsung selama beberapa menit, tapi akan membosankan  bil ditulis   semuanya Marilah kita  langsung menujsaat ketika mereka  berdiri dengajantung  berdebar-debar dan  wajah  agak ketakutadi  pinggir  mata  air  tak  dikenal  dengan cincin-cincin kuning mereka. Keduanya bergandengan dan sekali lagi berkata "SatuDua—Tiga—Lompat!"
Byuurr!   Sekali  lagi  cara  ini  tidak  berhasil. Mata air ini ternyata juga hanyalah sedalam kubangan  air.  Bukannya  mencapai  dunia  lainmereka  hanya  mendapati  kaki  mereka   basah dan  mengotori  tungkai  kaki  mereka  untuke- dua  kalinya  pagi  itu  (kalau  memansaat  itu pagi:  waktu  tampak  selalu  sama  di  Hutadi Antara  Dunia-Dunia).
"Sial!" seru Digory. "Apa lagi yang salah sekarang?  Kita sudah mengenakan cincin kuning kita kok. Dia bilang kuning untuk perjalanan pergi."
Nah ,    sekaran diketahu ternyat Paman Andrew,  yantidak  tahu  apa-apa  tentang  Hutan   di  Antar Dunia-Dunia,  punya  perkiraan yang salah tentang kegunaan cincin-cincin itu. Cinci yang   kunin bukanlah  cinci "pergi" da cinci yan hija bukanlah   cinci "pu- lang", setidaknya bukan seperti yang dipikir- kannya Bahan-bahan   yan membua kedua cincin itu berasal dari hutan itu. Bahan-bahan dalam cincin kuning memiliki kekuatan untuk menarikmu ke hutan, bahan-bahan yang ingin kembali ke tempatnya semula, tempat di antara. Tapi  bahan  dalacincin  hijau  adalah  bahan yang  berusahkeluar  dari  tempatnya  semula: jad cinci hija aka membawamu   keluar dari  hutake  sebuah  dunia.  Paman  Andrew, untuk kauketahui, sedang bereksperimen dengan benda-benda  yang  sebenarnya  tidak  terlalu  dimengerti, sebagiabesar penyihir memang begitu. Tentu saja Digory juga tidak terlalu menyadari kenyataan ini,  setidaknya tidahing- ga nanti. Tapi ketika mereka telah membicara- kannya,  mereka  memutuskan  mencoba   cincin hijau  mereka  ke  mata  air  barhanya  untuk melihat  apa  yang  akan  terjadi.
"Akmau  kalau  kau  juga  mau,"  kata  Polly. Tapi sebenarnya dia mengatakan ini karena di hatiny yang   palin dalam di kin merasa yakikeducinciitu  tidak  akan  berfungsi  di mata air baru, jadi tidak ada yang perlu lebih ditakutinya selain cipratan air lagi. Aku tidak terlalu yakin Digory punya perasaan yansama. Bagaimanapun, ketika  mereka  berdutelah me- maka cinci hijau kembali   k tepia mata air,  dan  bergandenganmereka  kini  jauh  lebih ceri da tidak   mura daripad pad kali pertama.
"Satu—Dua—Tiga—Lompat!" kata Digory. Dan  mereka  pun  melompat.

-----

 

©Copyright 2011 Narnia of Indonesia | TNB